KELOMPOK DJITOE. Membaca ulang Mooi Indie

 


Oleh: Agus Koecink

   Ditengah perkembangan arus seni rupa kontemporer yang terus menggeliat dengan berbagai aktivitasnya para pelukis yang datang dari Lamongan, Surabaya, dan Sidoarjo

Mencoba menghadirkan kembali tentang keindahan masa Hindia Belanda.     Gagasan tentang pameran itu sangat sederhana mencoba membaca ulang tentang sesuatu yang indah dan eksotis dari nusantara tentang pandangan pelukis Eropa yang datang untuk merekam keindahan dari timur. Padahal dalam keseharian para pelukis kelompok Djitoe ini melukis dengan berbagai gaya sesuai apa yang ada dalam hatinya.    Menariknya ketika mereka berkumpul dan mempersiapkan pameran terjadi dialog kembali tentang apa itu Mooi Indie ?.   Masing-masing mempunyai pandangannya sendiri sesuai pengetahuan yang diperoleh melalui bacaan buku maupun lewat media online. Membuka kembali pemikiran tentang pengaruh seni lukis Barat bagi mereka sama dengan belajar kembali tentang bagaimana seni rupa modern Indonesia tumbuh dan berkembang berdasarkan kurun waktu dan perubahan jamannya. 

   Mengamati karya kelompok Djitoe terdiri dari Budi Ipeng, Choirul, Fathur Rojib, Hendy Prayudi, Nova, Syamduro, Sugeng Lanang dan Lukman Gimen. Melalui proses penciptaan karyanya seperti masuk kembali pada masa perjalanan Mooi Indie ketika kolonialisme bangsa Barat mulai masuk di tanah air    Ketertarikan akan potensi hasil bumi juga dengan keindahan alamnya. Hasil rempah-rempah, gunung, budaya, dan pemandangan alam yang mempesona. Melalui V.O.C pengaruh kebudayaan Barat masuk salah satunya melalui dunia seni lukis. Pada tahun 1778, dibentuk sebuah lembaga kebudayaan dan seni oleh pemerintahan kolonial Belanda. Melalui lembaga ini para pelukis Hindia Belanda mulai mengembangkan jalan untuk eksistensinya dalam berkarya. Pada abad ke -19, Salah satu pelukis Pribumi yaitu Raden Saleh Syarief Bustaman mendapat didikan melukis dari A.A.J. Payen. Tahun 1829, Melanjutkan belajar di Belanda dibawah bimbingan Schelfhout dan Kruseman. Tahun 1883, Raden Saleh meninggal akhirnya terjadi kekosongan pelukis Pribumi.     Tahun 1902, terbentuk Nederlandsch Indische Kunstkring. Lembaga kesenian bagi aspirasi kelas menengah dan intelektual di Batavia. Setelah berdirinya lembaga kebudayaan dan kesenian bataviasche Kunstkring. Pertumbuhan lembaga berikutnya menjadi agen kebudayaan Barat. Dimulailah pameran-pameran yang didukung oleh pemerintahan Kolonial dengan pameran dari pelukis Eropa. Tahun 1935-1939, terjadi pameran tahunan yang memberi semangat pada pelukis lokal dan umum. Beberapa pelukis asing mengisi pameran antara lain Ernest Dezentje, Jan Frank, Piet Outborg dan lainnya. 

Pada saat itu Pelukis Pribumi dan Cina juga mulai muncul ada Pirngadi, Soerjo Soebanto, Basuki Abdullah, Abdullah Soerjo Soebroto, dan Lee Man Fong.     Masa itu aliran lukisan adalah Romantisisme dengan gaya ungkap naturalis impresif dengan warna cerah dan manis. Dalam buku Mooi Indie sampai  Persagi di Batavia 1900-1942. M. Agus Burhan juga menuliskan untuk itulah pelukis-pelukis asing dan bumi putra itu mendapat ejekan dari S. Sudjojono sebagai pelukis Mooi Indie.Padahal sesungguhnya pelukis-pelukis yang diejek itu rata-rata mempunyai kecakapan teknik yang tinggi dengan dasar pendidikan teknik melukis Barat. Ejekan itu sebenarnya mempunyai latar belakang dari munculnya kesadaran sosial politik kelompok pelukis pribumi. Mereka melihat adanya kontradiksi dari ungkapan pelukis Mooi Indie yang lebih banyak mengungkapkan sawah-sawah dan gunung-gunung di Priangan  serta kecantikan wanita-wanitanya. Para pelukis Mooi Indie tidak pernah tertarik dengan keadaan yang sesungguhnya, seperti penderitaan petani dan kehidupan orang-orang kampung. Lukisan-lukisan Mooi Indie sebenarnya memang lebih banyak memenuhi selera masyarakat Eropa yang hidup di Jawa. 

    Sekilas ingatan diatas kemudian masa kini di tahun 2024 kelompok Djitoe kembali melukis tentang alam yang indah perbukitan, gunung penanggungan,pohon-pohon siwalan, pantai, rumah tradisional Bali, dan kerbau-kerbau ditengah pepohonan dengan berbagai teknik ada yang halus, sedikit penggunaan pisau palet, dengan warna-warna, dan cahaya-cahaya matahari  mencoba menggambarkan kembali tentang subjek mater yang ada dengan perubahan alam  karena lingkungan yang berubah menjadikan karya yang tetap molek.    Bagaimanapun di tanah nusantara yang namanya cahaya matahari akan tetap muncul menyinari alam dalam berbagai putaran berdasarkan waktunya kalau kita melihat karya yang dipamerkan, apakah ada kesadaran dari kelompok Djitoe ini saat melukis tentang membaca ulang ketika dulu para pelukis Eropa di Hindia Belanda berburu sinar matahari untuk mendapatkan kesan cahaya pada obyeknya.    Saya kira para pelukis yang sedang pameran ini melakukan proses penciptaannya dengan kecintaan akan alam tanah air yang hingga kini masih memberikan daya tarik tersendiri untuk dilukis biarpun masa kini telah hadir karya-karya seni kontemporer.   Ada beberapa yang menarik dari pameran ini yaitu berani membaca kembali masa lalu seni rupa, kembali melukis diluar studio, menggunakan media untuk menangkap  obyek dilukis di studio, dan mencintai keindahan yang masih ada di sekitarnya atau diluar lingkungannya.     Sebagai  pelukis yang diberi lingkungan alam yang indah tentu pengalaman bergaul dengan alam itu memberikan ide untuk kembali mencipta bahwa sesungguhnya seni lukis masa Hindia Belanda itu masih banyak diminati dan diapresiasi oleh masyarakat hingga kini sebagai bagian dari isian ruang-ruang baik di perkantoran, rumah sakit, restoran, dan rumah.   Pertanyaannya, beranikah kelompok Djitoe ini bukan sekedar membaca ulang tetapi lebih jauh mengeksplorasi lagi pemikiran tentang Mooi Indie untuk melahirkan gagasan dan visualisasi baru ?. 

* Perupa, penulis seni rupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diduga melanggar Undang-Undang yang berlaku Serikat Pekerja dan mantan Karyawan PT. Kapasari menggugat

Bayu Iskandar Dinata Cicit Sakera Sagiman

Tak Hiraukan Putusan Mahkamah Agung R.I Warga ngagel surabaya akan lakukan tindakan Tegas Kepada A.H dengan cara mengajukan surat eksekusi kepada pengadilan